Sejarah Desa
Sejarah Desa Yaro
Awalnya penduduk desa Yaro berasal dari kepindahan penduduk yang berasal dari Talaga Lina, Kao Barat dan juga dari desa Paca yang awalnya disebut desa Pasa, kehidupan orang tua-tua pada saat itu keberadaannya sebelum masehi dan mata pencaharian mereka adalah berkebun atau bercocok tanam. Ada sebuah pohon besar dan pada suatu saat seorang tokoh pendiri membuat pertemuan dalam rangka membentuk desa, orang tua saat itu adalah Karaelo, Kalapa muda, Dara, Ramuda, Habiru Ketoko. Dari pertemuan mereka, mereka ingin dan sepakat menamakan tempat tinggal mereka Yaro. Kata Yaro diambil dari sebuah pohon kayu besar yang sering digunakan sebagai pewarna barang-barang anyaman tradisional, seperti sesiru, tikar, sasapu, aya-aya dan lain-lain. Kepala desa yang memimpin didesa berturut-turut adalah :
No | Nama | Jabatan | Masa Jabatan | Keterangan |
1 | Sune Ramuda | Kimala | 1906-1914 | Almarhum |
2 | Lukas Dino | Kimala | 1914-1922 | Almarhum |
3 | Alexander Lasano | Kimala | 1922-1954 | Almarhum |
4 | Yohanis Lasano | Kepala Kampung | 1954-1962 | Almarhum |
5 | Obet Takasenserang | Kepala Kampung | 1962-1970 | Almarhum |
6 | Charlis Lala | Kepala Desa | 1970-1982 | Almarhum |
7 | Efraim Arehati | Kepala Desa | 1982-1990 | Almarhum |
8 | Natanel Ketoko | Kepala Desa | 1991-1999 |
|
9 | Malkus Ramuda | Kepala Desa | 1999-2007 |
|
10 | Alexander Mandagi | Kepala Desa | 2007-2019 |
|
11 | Umbun Bastian Lala | Kepala Desa | 2019-2022 | Almarhum |
12 | Uria Lasano | PJ. Kepala Desa | 2023 |
|
Sebagian besar wilayah desa (sekitar 80%) merupakan perkebunan kelapa. Tanaman kelapa diperkenalkan oleh orang-orang Belanda. Pembukaan perkebunan telah mengurangi areal hutan yang semula mendominasi wilayah desa. Pada jaman orde baru ketika harga di pasar eropa naik cukup tajam, areal perkebunan meningkat menjadi sekitar 1050 hektar dan tentu saja berpengaruh terhadap luas areal hutan.
Pembukaan lahan untuk tanaman pangan yaitu ubi kayu, jagung dan ubi jalar semakin mengurangi luas hutan dan juga berpengaruh terhadap persediaan air tanah di desa, air sungai yang semula jernih berubah warna menjadi kecoklatan ketika semakin banyak warga yang menebang hutan untuk lahan pertanian.
Mayoritas penduduk desa beragama Kristen, secara ekonomi tidak ada keluarga yang sangat kaya. Rata-rata masyarakat mengandalkan hidupnya dari pertanian dan nelayan.